oleh

Wartawan Tanpa Gaji: Demokrasi yang Mengabaikan Kebenaran

banner 468x60

Penulis : Aya

Editor : Odhe

banner 336x280

DETEKSI MALUT NEWS — Di negeri yang mengaku demokratis, masih ada jurnalis seperti Aya—pejuang pena tanpa gaji. Ia bukan wajah yang berseliweran di layar televisi, bukan pula pemegang kartu pers elite yang diperlakukan bak tamu kehormatan. Aya adalah wartawan sejati: menulis tanpa upah, menyuarakan kebenaran meski hidupnya sendiri terabaikan.

Setiap hari, ia mencium kening istri dan anaknya sebelum berangkat meliput. Pulang tanpa kepastian, hanya berbekal idealisme dan harapan. “Kadang cuma dapat uang bensin seratus ribu setelah liputan acara instansi,” katanya.

Namun, bukan uang yang dikejarnya—melainkan kebenaran. Ironisnya, demi bertahan hidup, Aya harus jadi buruh harian lepas. Pagi menulis berita, siang angkut barang, malam kembali menyusun laporan. Dan ia bukan satu-satunya. Ribuan wartawan di negeri ini bernasib sama: bekerja tanpa jaminan, berjuang tanpa perlindungan.

Di tengah gempita demokrasi, nasib mereka diabaikan. Pemerintah yang seharusnya berpihak justru menutup mata. Bulan Ramadan semakin memperjelas ironi ini—permohonan bantuan tak digubris, kesejahteraan mereka tetap di titik nadir.

Tanpa pers yang kuat, demokrasi hanya ilusi.

Tanpa jurnalis yang berani, kebenaran akan terkubur di balik propaganda dan kepentingan oligarki. Jika negara masih membiarkan pejuang pena hidup dalam nestapa, maka kita semua harus bertanya: apakah demokrasi ini sungguh ada, atau hanya topeng belaka?

banner 336x280

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *